Potensi Perkembangan Sapi Potong
Grafik Pertumbuhan Populasi Sapi Potong,kambing dan kerbau di Indonesia pada 5 tahun terakhir,
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan
Dari table pertambahan populasi ternkan sapi potong, kambing dan juga kerbau dapat dilihat betapa rendahnya populasi ternka sapi potong jika dibandingkan dengan jumlah populasi masyarakat Negara Indonesia, tentunya tidak memenuhi konsumsi daging perkapita pertahunnya.
Dapat juga dilihat grafik dibawah ini konsumsi daging (daging sapi, daging ayam ras/broiler, daging ayam kampung) di Indonesia perkapita selama 5 tahun terakhir;
Sumber : National Sosio-Economic Survey, 2007-2013
Dari tabel konsumsi daging perkapita dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat perbandingan yang sangat jauh konsumsi daging ayam ras/broiler dengan daging sapi, dalam 3 tahun terakhir konsumsi perkapita daging sapi jjuga mengalami penurunan padahal jika dilihat dari kebijakan pemerintah kita telah melakukan ekspor daging sapi dari Australia untuk memenuhi konsumsi daging kenyataannya sangat berbeda dengan apa yang kita dapatkan dilapangan.
Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada sapi potong impor, Depertemen Pertanian kembali mencanangkan program swasembada daging pada tahun 2014 dengan melakukan kajian mendalam melalui program ”Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi ( P2SDS )”. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain revitalisasi program pembibitan dengan pendistribusian bibit sapi potong ke berbagai propinsi potensial untuk dikembangkan secara intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya mencapai 7 persen per tahun (Dirjen Peternakan, 2009).
Pada umumnya sapi potong yang dipelihara peternak di Negara kita adalah sapi Lokal, sapi Bali, Simental, Peranakan Ongole, Limousine, Brahman, Angus dan hasil persilangan antara Brahman dan Angus yang dikenal dengan nama Brangus.
Kondisi lahan yang kurang subur merupakan kendala utama kurang tersedianya pakan hijauan. Keringnya lahan pertanian di suatu wilayah menyebabkan tidak semua jenis tanaman hijauan dapat tumbuh subur. Sistem pertaniannya sangat bergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Oleh karena lahan pertanian berupa lahan kering maka di samping bercocok tanam sebagai kegiatan utama, untuk meningkatkan pendapatan petani juga memelihara ternak (Abdurrahman et al., 1997). Pengembangan usaha ternak sapi potong rakyat di suatu daerah dilakukan dengan memanfaatkan limbah pertanian mengingat penyediaan rumput dan hijauan pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yang berasal dari limbah tanaman pangan yang memiliki potensi untuk pakan adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, daun ubi jalar, daun singkong serta limbah pertanian lainnya yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pola pertanian tanaman pangan di suatu wilayah (Febrina dan Liana 2008).
Persilangan bangsa sapi Bos indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) bertujuan untuk menghasilkan sapi potong yang memiliki reproduksi dan pertumbuhan yang bagus. Pemeliharaan sapi Persilangan Limousin lebih disukai oleh peternak karena memiliki tubuh yang lebih besar serta harga jual yang lebih tinggi dari sapi lokal.
Sapi Bos taurus (Limousin) mempunyai sifat reproduksi yang tinggi, ukuran tubuh besar dengan J. Ternak Tropika Vol. 12, No.2: 76-80, 2011 75 kecepatan pertumbuhan sedang sampai tinggi, sedangkan bangsa sapi Bos indicus (PO) mempunyai sifat yang kurang baik dalam hal reproduksi dan kecepatan pertumbuhannya, tetapi sifat menyusui terhadap anaknya (mothering ability) sangat bagus. Dari kelebihankelebihan yang dimiliki oleh kedua bangsa tersebut diharapkan mampu terekspresikan pada hasil silangannya. Persilangan yang memanfaatkan heterosis hanya dapat meningkatkan karakteristik produksi, tetapi tidak reproduksinya.. Hal itu terlihat dari jarak beranak yang mencapai 20 bulan, yangterkait erat dengan tingginya anestrus pasca beranak serta tingginya kawin berulang. (Astuti 2004). Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal yaitu . sngka kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving interval); jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service periode); angka kawin per kebuntingan (service per conception); angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).
Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas reproduksi dengan cara persilangan bangsa sapi Bos Indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) sehingga impor sapi dapat dikurangi. Penampilan reproduksi di peternakan rakyat secara umum masih tergolong rendah, sehingga perlu adanya evaluasi reproduksi sapi potong pada paritas berbeda.
Paritas adalah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama adalah ternak betina yang telah melahirkan anak satu kali atau pertama. Demikian juga untuk kelahirankelahiran yang akan datang disebut paritas kedua dan seterusnya (Hafez, 2000). Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi terutama lamakehidupan, dimana lama kehidupan produktif sapi potong lebih lama bila dibandingkan dengan sapi perah yaitu 10 sampai 12 tahun dengan produksi 6 sampai 8 anak. Faktor ini sangat penting bagi peternakan dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak, mempunyai dampak ekonomis yang sangat penting (Toelihere, 1985).
Peningkatan produktivitas sapi potong melalui program persilangan (crossbreeding) antara sapi Limousin atau Simmental dengan sapi Peranakan Ongole telah lama dilakukan melalui sistem perkawinan inseminasi buatan (IB). Menurut Hardjosubroto (1994), tujuan utama dari persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan.
Program inseminasi buatan (IB) di Indonesia telah menghasilkan beberapa sapi potong silangan. Sapi SIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Simmentaldengan sapi peranakan ongole (PO) dan LIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Limousin dengan sapi PO, merupakan sapi silangan yang banyak disukai dan dipelihara oleh peternak rakyat. Simmental atau Limousin adalah sapi dari bangsaBos Taaurus yang berasal dari daerah sedang (temperate zone), terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang dingin dan tatalaksana pemeliharaan yang intensif (ASTUTI et al., 2002), serta termasuk sapi tipe besar sehingga secara genetik mempunyai laju pertumbuhan yang cepat. Sapi PO adalah termasuk bangsa Bos Indicus yang berasal dari daerah tropis, terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang panas dan tatalaksana pemeliharaan yang ekstensif, serta termasuk sapi tipe kecil sampai sedang sehingga laju pertumbuhannya rendah sampai sedang. Oleh karena itu, sapi SIMPO dan LIMPO secara genetik akan mewarisi sifat-sifat kedua tetuanya masing-masing sebesar 50%, yaitu diduga dibandingkan dengan sapi PO akan mempunyai potensi laju pertumbuhan lebih cepat tetapi kurang tahan terhadap pengaruh temperatur udara panas dan kondisi pakan terbatas.
Kenyataan di lapang, sapi SIMPO dan LIMPO yang dipelihara di peternak rakyat ada yang menunjukkan performan produksi tidak lebih baik bahkan beberapa kasus justru lebih jelek dibandingkan dengan sapi PO. Performan penotip yang kurang/tidak mencerminkan potensi genotipnya ini, menurut DIWYANTO (2002) diduga karena pengaruh terjadinya genetic-environmental interaction.
Keberhasilan IB untuk menghasilkan seekor pedet saat ini cukup bervariasi, tetapi untuk beberapa kawasan telah berhasil dengan baik. Salah satu kunci keberhasilan IB adalah, sapi dipelihara secara intensif dengan cara di kandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam deteksi berahi serta memudahkan petugas untuk melaksanakan IB. Akan tetapi secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alam (Subarsono, 2009).
Namun secara komprehensif laporan perihal keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetic sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada. Demikian pula halnya dengan kinerja performans reproduksi sapi persilangan hasil IBpraktis belum banyak dilakukan evaluasinya, kecuali sinyalemen yang disampaikan Putro (2009). Oleh karena itu pelaksanaan IB harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran akhir yang akan dituju, serta dengan memperhatikan adanya interaksi genetika dan lingkungan (genotype environmet interaction, GEI). Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan bakalan pada usaha cow-calf operation, maka penggunaan pejantan yang berukuran besar (misalnya: Simental maupun Limousin) hanya dapat dilakukan di daerah yang ketersediaan pakannya memadai.
Peternak menyukai sapi persilangan hasil IB, karena harga jual anak jantan sangat tinggi, sedangkan sekitar 50% hasil IB adalah sapi betina yang dipergunakan sebagai replacement. Dengan kegiatan IB, sapi lokal berubah menjadi sapi tipe besar yang membutuhkan banyak pakan. Pada kondisi sulit pakan, sapi persilangan menjadi kurus, kondisi tubuh buruk, dan berakibat menurunnya kinerja reproduksi, seperti: nilai S/C (sevice per conception) tinggi, jarak beranak panjang, dan rendahnya calf crop. Kondisi ini disertai rendahnya produksi susu dan tingginya kematian pedet. Pada kondisi pemeliharaan yang baik, kinerja reproduksi sapi persilangan tetap baik.
Selama ini program kawin suntik di tingkatpeternakan rakyat tidak terarah bahkan pemanfatan teknologi dalam penggemukan sapi impor dirasakan masih belum dilaksanakan secara baik oleh peternak (SUTAWI, 2002). Suatu usaha perbibitan sapi potong bakalan secara komersial di peternakan rakyat dengan memanfaatkan program IB/kawin suntik, memerlukan adanya pembentukan wilayah sentra perbibitan dan menurut HAMMACK (1998) serta CHAPMAN dan ZOBELL (2004) harus diikuti dengan program persilangan dan pemuliaan yang benar dan terarah, sehingga akan mampu meningkatkan produksi daging (THIEN, 1992). AFFANDHY et al. (2003).
Tabel . Rerata dan standar deviasi ukuran tubuh sapi SIMPO dan LIMPO pada keturunan pertama dan kedua backcross (the average and standard deviation of body sizes of SIMPO and LIMPO cattle in first filial and backcross).
No
|
Ukuran tubuh (body’s size)
|
SIMPO
|
LIMPO
|
PO
| ||
F1
|
BC1
|
F1
|
BC1
| |||
1.
|
Lingkar dada (cm)
(heart girth (cm))
|
164,83±9,58
|
167,60±9,47
|
158,83±12,56
|
167,20±14,07
|
162,15±12,33
|
2.
|
Tinggi gumba (cm)
(withers height (cm))
|
124,65±5,36
|
125,15±6,25
|
125,32±9,35
|
126,55±5,52
|
121,55±4,36
|
3.
|
Panjang badan (cm)
(body length (cm))
|
124,43±8,76
|
124,80±6,65
|
119,87±10,49
|
125,10±8,15
|
109,75±9,72
|
4.
|
Tinggi pinggul (cm)
(hip height (cm))
|
125,75±5,18
|
126,80±7,79
|
128,60±9,25
|
130,15±5,93
|
123,25±4,83
|
5.
|
Indeks kepala (head
index)
|
0,48±0,07
|
0,49±0,06
|
0,46±0,07
|
0,52±0,06
|
0,40±0,04
|
F1: keturunan pertama (first filial)
BC1: keturunan kedua backcross (first backcross)
Dalam penelitian ini sapi SIMPO dan LIMPO yang di backcross mengalami peningkatan persentase darah tetua pejantan yaitu Simmental untuk SIMPO dan Limousin untuk LIMPO dari F1 ke BC1, akan tetapi dari faktor lingkungan berada pada kondisi yang seragam, sehingga dapat dikatakan faktor genetik dari sapi Simmental an Limousin mengalami peningkatan tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan dari faktor lingkungan. Oleh karena itu, fenotip yang dihasilkan dalam hal ini ukuran tubuh BC1 menunjukkan peningkatan yang tidak jauh berbeda dibanding pada F1.
Perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia saat ini belumlah relevan dan terlalu signifikan, dikarenenakan pemerintah telah 2 kali mencanangkan Indonesia swasembada daging tapi hasilnya nihil atau tidak ada sama sekali, sangat dibutuhkan kerjasama seluruh pihak yang terkait untuk mewujudkan agar Indonesia dapat swasembada daging dan juga melukukan import daging ataupun sapi ke negara tetangga, terutama keseriusan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tentang peternakan terutama tentang perkembangan sapi potong di Indonesia. Dimana dibutuhkan kerjasama dan komunikasi yang kuat antara pemerintah, stokeholder, industry peternakan dan peternak rakyat. Saat ini pemerintah membuat kebijakan seolah – olah mendukung industry peternakan atau peternakan skala industry daripada peternakan skala rakyat.
source : http://www.agrobisnisinfo.com/2015/07/sapi-simpo-simmental-po-dan-sapi-limpo.html