Senin, 28 November 2016

Artikel Peternakan 2


Potensi Perkembangan Sapi Potong
 Sapi merupakan penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 mencapai 4,1 kg/ kapita/tahun meningkat menjadi 5,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2007. Namun peningkatan konsumsi daging ini tidak diimbangi dengan peningkatan populasi ternak (ketidak seimbangan antara supply dan demand), sehingga diseimbangkan dengan impor daging sapi setiap tahun yang terus meningkat sekitar 360 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 650 ribu ton pada tahun 2008 (Luthan, 2009). 
Grafik Pertumbuhan Populasi Sapi Potong,kambing dan kerbau di Indonesia pada 5 tahun terakhir,
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan
            Dari table pertambahan populasi ternkan sapi potong, kambing dan juga kerbau dapat dilihat betapa rendahnya populasi ternka sapi potong jika dibandingkan dengan jumlah populasi masyarakat Negara Indonesia, tentunya tidak memenuhi konsumsi daging perkapita pertahunnya.
Dapat juga dilihat grafik dibawah ini konsumsi daging (daging sapi, daging ayam ras/broiler, daging ayam kampung) di Indonesia perkapita selama 5 tahun terakhir;
Sumber : National Sosio-Economic Survey, 2007-2013
            Dari tabel konsumsi daging perkapita dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat perbandingan yang sangat jauh konsumsi daging ayam ras/broiler dengan daging sapi, dalam 3 tahun terakhir konsumsi perkapita daging sapi jjuga mengalami penurunan padahal jika dilihat dari kebijakan pemerintah kita telah melakukan ekspor daging sapi dari Australia untuk memenuhi konsumsi daging kenyataannya sangat berbeda dengan apa yang kita dapatkan dilapangan.
Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada sapi potong impor, Depertemen Pertanian kembali mencanangkan program swasembada daging pada tahun 2014 dengan melakukan kajian mendalam melalui program ”Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi ( P2SDS )”. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain revitalisasi program pembibitan dengan pendistribusian bibit sapi potong ke berbagai propinsi potensial untuk dikembangkan secara intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya mencapai 7 persen per tahun (Dirjen Peternakan, 2009). 
Pada umumnya sapi potong yang dipelihara peternak di Negara kita  adalah sapi Lokal, sapi Bali, Simental, Peranakan Ongole, Limousine, Brahman, Angus dan hasil persilangan antara Brahman dan Angus yang dikenal dengan nama Brangus.
Kondisi lahan yang kurang subur merupakan kendala utama kurang tersedianya pakan hijauan. Keringnya lahan pertanian di suatu wilayah menyebabkan tidak semua jenis tanaman hijauan dapat tumbuh subur. Sistem pertaniannya sangat bergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Oleh karena lahan pertanian berupa lahan kering maka di samping bercocok tanam sebagai kegiatan utama, untuk meningkatkan pendapatan petani juga memelihara ternak (Abdurrahman et al., 1997). Pengembangan usaha ternak sapi potong rakyat di suatu daerah dilakukan dengan memanfaatkan limbah pertanian mengingat penyediaan rumput dan hijauan pakan lainnya sangat terbatas. Limbah pertanian yang berasal dari limbah tanaman pangan yang memiliki potensi untuk pakan adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, daun ubi jalar, daun singkong serta limbah pertanian lainnya yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pola pertanian tanaman pangan di suatu wilayah (Febrina dan Liana 2008).
            Persilangan bangsa sapi Bos indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) bertujuan untuk menghasilkan sapi potong yang memiliki reproduksi dan pertumbuhan yang bagus. Pemeliharaan sapi Persilangan Limousin lebih disukai oleh peternak karena memiliki tubuh yang lebih besar serta harga jual yang lebih tinggi dari sapi lokal.
            Sapi Bos taurus (Limousin) mempunyai sifat reproduksi yang tinggi, ukuran tubuh besar dengan J. Ternak Tropika Vol. 12, No.2: 76-80, 2011 75 kecepatan pertumbuhan sedang sampai tinggi, sedangkan bangsa sapi Bos indicus (PO) mempunyai sifat yang kurang baik dalam hal reproduksi dan kecepatan pertumbuhannya, tetapi sifat menyusui terhadap anaknya (mothering ability) sangat bagus. Dari kelebihankelebihan yang dimiliki oleh kedua bangsa tersebut diharapkan mampu terekspresikan pada hasil silangannya. Persilangan yang memanfaatkan heterosis hanya dapat meningkatkan karakteristik produksi, tetapi tidak reproduksinya.. Hal itu terlihat dari jarak beranak yang mencapai 20 bulan, yangterkait erat dengan tingginya anestrus pasca beranak serta tingginya kawin berulang. (Astuti 2004). Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal yaitu . sngka kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving interval); jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service periode); angka kawin per kebuntingan (service per conception); angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995).
            Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas reproduksi dengan cara persilangan bangsa sapi Bos Indicus (Persilangan Ongole) dengan bangsa sapi Bos taurus (Sapi Limousin) sehingga impor sapi dapat dikurangi. Penampilan reproduksi di peternakan rakyat secara umum masih tergolong rendah, sehingga perlu adanya evaluasi reproduksi sapi potong pada paritas berbeda.
Paritas adalah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama adalah ternak betina yang telah melahirkan anak satu kali atau pertama. Demikian juga untuk kelahirankelahiran yang akan datang disebut paritas kedua dan seterusnya (Hafez, 2000). Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi terutama lamakehidupan, dimana lama kehidupan produktif sapi potong lebih lama bila dibandingkan dengan sapi perah yaitu 10 sampai 12 tahun dengan produksi 6 sampai 8 anak. Faktor ini sangat penting bagi peternakan dan pembangunan peternakan, karena setiap penundaan kebuntingan ternak, mempunyai dampak ekonomis yang sangat penting (Toelihere, 1985).
            Peningkatan produktivitas sapi potong melalui program persilangan (crossbreeding) antara sapi Limousin atau Simmental dengan sapi Peranakan Ongole telah lama dilakukan melalui sistem perkawinan inseminasi buatan (IB). Menurut Hardjosubroto (1994), tujuan utama dari persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu bangsa silangan.
            Program inseminasi buatan (IB) di Indonesia telah menghasilkan beberapa sapi potong silangan. Sapi SIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Simmentaldengan sapi peranakan ongole (PO) dan LIMPO sebagai hasil persilangan antara sapi Limousin dengan sapi PO, merupakan sapi silangan yang banyak disukai dan dipelihara oleh peternak rakyat. Simmental atau Limousin adalah sapi dari bangsaBos Taaurus yang berasal dari daerah sedang (temperate zone), terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang dingin dan tatalaksana pemeliharaan yang intensif (ASTUTI et al., 2002), serta termasuk sapi tipe besar sehingga secara genetik mempunyai laju pertumbuhan yang cepat. Sapi PO adalah termasuk bangsa Bos Indicus yang berasal dari daerah tropis, terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang panas dan tatalaksana pemeliharaan yang ekstensif, serta termasuk sapi tipe kecil sampai sedang sehingga laju pertumbuhannya rendah sampai sedang. Oleh karena itu, sapi SIMPO dan LIMPO secara genetik akan mewarisi sifat-sifat kedua tetuanya masing-masing sebesar 50%, yaitu diduga dibandingkan dengan sapi PO akan mempunyai potensi laju pertumbuhan lebih cepat tetapi kurang tahan terhadap pengaruh temperatur udara panas dan kondisi pakan terbatas. 
Kenyataan di lapang, sapi SIMPO dan LIMPO yang dipelihara di peternak rakyat ada yang menunjukkan performan produksi tidak lebih baik bahkan beberapa kasus justru lebih jelek dibandingkan dengan sapi PO. Performan penotip yang kurang/tidak mencerminkan potensi genotipnya ini, menurut DIWYANTO (2002) diduga karena pengaruh terjadinya genetic-environmental interaction.
 
Sapi Simpo (Simmental PO)
            Keberhasilan IB untuk menghasilkan seekor pedet saat ini cukup bervariasi, tetapi untuk beberapa kawasan telah berhasil dengan baik. Salah satu kunci keberhasilan IB adalah, sapi dipelihara secara intensif dengan cara di kandangkan. Hal ini akan memudahkan dalam deteksi berahi serta memudahkan petugas untuk melaksanakan IB. Akan tetapi secara umum keberhasilan IB masih lebih rendah dibandingkan dengan kawin alam (Subarsono, 2009).
Namun secara komprehensif laporan perihal keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetic sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada. Demikian pula halnya dengan kinerja performans reproduksi sapi persilangan hasil IBpraktis belum banyak dilakukan evaluasinya, kecuali sinyalemen yang disampaikan Putro (2009). Oleh karena itu pelaksanaan IB harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran akhir yang akan dituju, serta dengan memperhatikan adanya interaksi genetika dan lingkungan (genotype environmet interaction, GEI). Apabila IB ditujukan untuk menghasilkan bakalan pada usaha cow-calf operation, maka penggunaan pejantan yang berukuran besar (misalnya: Simental maupun Limousin) hanya dapat dilakukan di daerah yang ketersediaan pakannya memadai.
Peternak menyukai sapi persilangan hasil IB, karena harga jual anak jantan sangat tinggi, sedangkan sekitar 50% hasil IB adalah sapi betina yang dipergunakan sebagai replacement. Dengan kegiatan IB, sapi lokal berubah menjadi sapi tipe besar yang membutuhkan banyak pakan. Pada kondisi sulit pakan, sapi persilangan menjadi kurus, kondisi tubuh buruk, dan berakibat menurunnya kinerja reproduksi, seperti: nilai S/C (sevice per conception) tinggi, jarak beranak panjang, dan rendahnya calf crop. Kondisi ini disertai rendahnya produksi susu dan tingginya kematian pedet. Pada kondisi pemeliharaan yang baik, kinerja reproduksi sapi persilangan tetap baik.
Selama ini program kawin suntik di tingkatpeternakan rakyat tidak terarah bahkan pemanfatan teknologi dalam penggemukan sapi impor dirasakan masih belum dilaksanakan secara baik oleh peternak (SUTAWI, 2002). Suatu usaha perbibitan sapi potong bakalan secara komersial di peternakan rakyat dengan memanfaatkan program IB/kawin suntik, memerlukan adanya pembentukan wilayah sentra perbibitan dan menurut HAMMACK (1998) serta CHAPMAN dan ZOBELL (2004) harus diikuti dengan program persilangan dan pemuliaan yang benar dan terarah, sehingga akan mampu meningkatkan produksi daging (THIEN, 1992). AFFANDHY et al. (2003).
Tabel . Rerata dan standar deviasi ukuran tubuh sapi SIMPO dan LIMPO pada keturunan pertama dan kedua backcross (the average and standard deviation of body sizes of SIMPO and LIMPO cattle in first filial and backcross).
No
Ukuran tubuh (body’s size)
SIMPO
LIMPO
PO
F1
BC1
F1
BC1
1.       
Lingkar dada (cm)
(heart girth (cm))
164,83±9,58
167,60±9,47
158,83±12,56
167,20±14,07
162,15±12,33
2.       
Tinggi gumba (cm)
(withers height (cm))
124,65±5,36
125,15±6,25
125,32±9,35
126,55±5,52
121,55±4,36
3.       
Panjang badan (cm)
(body length (cm))
124,43±8,76
124,80±6,65
119,87±10,49
125,10±8,15
109,75±9,72
4.       
Tinggi pinggul (cm)
(hip height (cm))
125,75±5,18
126,80±7,79
128,60±9,25
130,15±5,93
123,25±4,83
5.       
Indeks kepala (head
index)
0,48±0,07
0,49±0,06
0,46±0,07
0,52±0,06
0,40±0,04
F1: keturunan pertama (first filial)
BC1: keturunan kedua backcross (first backcross)
Dalam penelitian ini sapi SIMPO dan LIMPO yang di backcross mengalami peningkatan persentase darah tetua pejantan yaitu Simmental untuk SIMPO dan Limousin untuk LIMPO dari F1 ke BC1, akan tetapi dari faktor lingkungan berada pada kondisi yang seragam, sehingga dapat dikatakan faktor genetik dari sapi Simmental an Limousin mengalami peningkatan tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan dari faktor lingkungan. Oleh karena itu, fenotip yang dihasilkan dalam hal ini ukuran tubuh BC1 menunjukkan peningkatan yang tidak jauh berbeda dibanding pada F1.

Perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia saat ini belumlah relevan dan terlalu signifikan, dikarenenakan pemerintah telah 2 kali mencanangkan Indonesia swasembada daging tapi hasilnya nihil atau tidak ada sama sekali, sangat dibutuhkan kerjasama seluruh pihak yang terkait untuk mewujudkan agar Indonesia dapat swasembada daging dan juga melukukan import daging ataupun sapi ke negara tetangga, terutama keseriusan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tentang peternakan terutama tentang perkembangan sapi potong di Indonesia. Dimana dibutuhkan kerjasama dan komunikasi yang kuat antara pemerintah, stokeholder, industry peternakan dan peternak rakyat. Saat ini pemerintah membuat kebijakan seolah – olah mendukung industry peternakan atau peternakan skala industry daripada peternakan skala rakyat.

source : http://www.agrobisnisinfo.com/2015/07/sapi-simpo-simmental-po-dan-sapi-limpo.html

Senin, 24 Oktober 2016

Artikel Peternakan

Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong

Kesulitan dalam memperoleh bibit sapi potong lokal secara kuantitas maupun kualitas secara berkelanjutan merupakan masalah utama yang harus segera diselesaikan. Kesulitan ini tampaknya lebih disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait. Mencari permasalahan tentang kesulitan tersebut sudah banyak dilakukan dan sering pula didiskusikan, tapi aksi untuk menyelesaikan kesulitan tersebut kurang/ belum dilakukan. Oleh karena itu, secara umum beberapa kebijakan yang seharusnya segera diimplementasikan dalam kegiatan aksi mutlak diperlukan.

Beberapa upaya pengembangan usaha perbibitan adalah:

1. Penentuan jenis ternak sapi.
Di Indonesia, berbagai jenis ternak sapi yang ada diklasifikan menjadi dua kelompok besar (Simanjuntak, 1999). Seluruh sapi di dalam masing-masing kelompok berpotensi dijadikan sebagai ternak bibit yang tentu saja didasarkan pada berbagai faktor. Pertama, kelompok sapi asli yang meliputi: sapi Bali, sapi Madura, sapi Sumba Ongole (SO), sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Hissar. Kedua, kelompok sapi persilangan dengan bangsa sapi import yang meliputi: sapi Simmental, sapi Limousin, sapi Angus, sapi Brahman, sapi Brangus.
Pada umumnya, keunggulan yang dimilik oleh sapi lokal Indonesia adalah: daya adaptasi tinggi; tingkat kesuburan tinggi, persentase karkas lebih tinggi, dapat digunakan sebagai tenaga kerja; dan daya tahan terhadap caplak. Adapun sapi persilangan biasanya unggul dalam hal: pertumbuhan bobot badan yang tinggi; dan mempunyai kualitas daging lebih baik. Keduanya juga memiliki kelemahan. Kerugian bila menggunakan sapi lokal sebagai ternak bibit

2. Perbaikan mutu ternak bibit
Untuk mendapatkan ternak bibit yang baik, upaya meningkatkan mutu ternak bibit khususnya bila menggunakan ternak lokal perlu dilakukan. Di dalam program pemuliaan, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu tersebut, yaitu: seleksi dan persilangan. Pendekatan pertama (seleksi) untuk sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis (seperti pertambahan berat badan, efisiensi penggunaan pakan, dan kualitas karkas) harus dilakukan di suatu wilayah yang populasi sapinya sejenis dan dalam jumlah banyak. Kondisi semacam ini harus dicapai untuk memperoleh tingkat keberhasilan yang tinggi dalam sistem seleksi, karena semakin tinggi jumlah ternak dalam suatu populasi, intensitas seleksinya juga semakin kuat sehingga ternak yang terseleksi benar-benar bermutu tinggi. Seleksi juga penting diterapkan dalam konteks pemilihan ternak betina pengganti (replacement stock) bagi ternak betina berkualitas buruk dan atau ternak betina tua. Pendekatan kedua (persilangan) akan sangat efektif dilakukan melalui perkawinan antara ternak lokal yang terseleksi untuk sifat-sifat kuantititaf yang diinginkan dengan ternak import yang juga telah diseleksi berdasarkan sifat yang diinginkan. Ini dapat dilakukan melalui perkawainan alam, tetapi akan lebih efisien dengan memanfaatkan teknik inseminasi buatan. Walaupun aplikasi bio-teknologi (baik reproduksi maupun rekayasa genetik) dalam pening-katan produktivitas ternak tampak semakin menjajikan, tingginya biaya pengoperasian masih menjadi kendala untuk menggunakan teknologi tersebut. Dalam banyak hal, penerapan bioteknologi masih sangat memerlukan peran dan bantuan pemerintah pusat.
Program pemuliaan tersebut akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung dengan sistem pencatatan yang tertib, sistematis, dan berkesinambungan. Sistem pencatatan difokuskan pada sifat-sifat kuantitatif penting dari ternak dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diterapkan secara mudah oleh peternak, pegawai pemerintah dan siapapun yang dilibatkan. Keterlibatan asosiasi, kelompok peternak, perguruan tinggi atau lembaga penelitian sangat diperlukan untuk keberhasilan dalam pencatatan tersebut.

3. Perbanyakan jumlah ternak bibit
Penyediaan ternak bibit lokal sebagai populasi dasar dapat dipenuhi melalui pengambilan ternak dari berbagai wilayah yang dikenal sebagai kantong-kantong ternak berpopulasi tinggi atau diperoleh melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) milik pemerintah seperti Balai Inseminasi Buatan (BIB) Singosari dan BIB Lembang. Dari ketersediaan ternak pilihan ini, kemudian dilakukan program pemuliaan di suatu kawasan yang melibatkan petani peternak dalam suatu sistem pembibitan Village Breeding Center (VBC). Sistem ini akan lebih efektif apabila dalam pelaksanaannya dikelola melalui program kemitraan antara swasta (sebagai pemodal), peternak (sebagai pelak-sana) dan pemerintah/perguruan tinggi/lembaga penelitian/asosiasi (sebagai pembina). Program semacam ini juga diharapkan agar seluruh ternak bibit yang dihasilkan dari program pemeuliaan ini dapat secara berkesinambungan digunakan sebagai bahan dasar untuk perbanyakan sehingga pemenuhan kebutuhan ternak bibit yang berkualitas secara terus menerus dapat terjamin.

4. Peredaran ternak bibit
Peredaran ini mencakup ternak bibit jantan maupun betina. Namun, karena penyediaan ternak bibit jantan dapat dilakukan melalui BIB Lembang atau BIB Singosari, sistem peredaran ternak bibit perlu difokuskan untuk ternak betina. Ternak bibit betina di sini didefinisikan sebagai ternak betina yang dipelihara hanya untuk menghasilkan pedet beberapa kali sampai betina tersebut dinyatakan tidak berfungsi lagi secara reproduktif. Dengan demikian, pola pengelolaannya mirip atau harus disamakan dengan pola yang digunakan pada ternak bibit jantan. Sistem pencatatan ternak ternak bibit betina, sertifikasi mutu, maupun standard minimal penampilannya perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian atau asosiasi. Dengan dikembangkannya sistem tersebut, harga ternak bibit betina diharapkan akan menjadi lebih tinggi daripada ternak betina potong. Tanpa indikator kuantitatif yang jelas terhadap penampilan atau kinerja ternak bibit betina, upaya menghargai ternak bibit betina lebih daripada ternak betina potong akan sia-sia.
Untuk itu, peredaran ternak bibit betina harus terkontrol. Informasi tentang jumlah dan jenis ternak yang diedarkan, lokasi penyebaran (luar kota atau luar pulau atau bahkan luar negeri) harus tercatat dengan baik; dan yang lebih penting perlu disusunnya pedoman pengedaran ternak bibit betina oleh pemerintah bersama dengan lembaga independen lainnya yang peduli terhadap kesinambungan pengadaan ternak bibit betina.

5. Pembinaan dan pengawasan mutu
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa program pemerintah melalui berbagai proyek memang memberikan hasil yang cukup menggembirakan tetapi masih perlu dioptimalkan. Adanya misi sosial dan konsep pemerataan pembangunan yang dipikul pemerintah sedikit banyak mempengaruhi pelaksanaan berbagai program pemerintah selama ini. Oleh karena itu, peran sektor swasta perlu lebih digalakkan dalam upaya membangunan industri ternak bibit. Pemerintah dapat lebih berperan sebagai pengawas atau pembina yang dengan otoritas-nya mengontrol mutu ternak bibit. Namun, akan lebih efektif apabila pengawasan mutu ternak bibit melibatkan peran swasta juga. Sertifikasi yang berkaitan dengan upaya pengawasan mutu dapat dilakukan swasta atas sepengetahuan/seijin pemerintah.
Skala Usaha Peternakan Sapi Potong
Lebih dari 90% peternak sapi potong di Indonesia adalah peternak rakyat yang merupakan usaha sambilan dan bukan sebagai usaha pokok. Ciri khas dari peternakan rakyat setidaknya adalah: (a) skala usaha relatif kecil (b) merupakan usaha rumah tangga (c) cara memeliharanya masih tradisional; dan seringkali ternak digunakan sebagai sumber tenaga kerja. Artinya peternak tidak mengangap penting usaha ini dan tidak mengharap-kan sebagai ternak penghasil daging. Dengan demikian, kualitas sapi yang dipelihara maupun kualitas daging yang dihasilkan tentu saja sangat diragukan. Upaya meningkatkan kualitas ternak maupun dagingnya sangat sulit dicapai karena sebagian besar masyarakatpun tidak menuntut standard tinggi tentang kualitas daging. Akhirnya, hal ini seperti lingkaran setan. Di satu sisi, peternak didorong untuk memelihara sapi secara lebih modern sehingga usaha peternakan dapat menjadi penghasilan pokoknya, di sisi lain masyarakat berharap memperoleh daging sapi dengan harga murah tanpa mempertimbangkan kualitasnya.
Namun demikian, apabila pola kebijakan pengembangan sapi potong masih berorientasi pada pola peternakan rakyat dengan ciri-ciri tersebut di atas, sulit untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia dengan mengandalkan dari ternak lokal. Skala usaha peternakan harus ditingkatkan sampai jumlah minimum yang hasilnya layak untuk digunakan sebagai usaha pokok kehidupan peternak. Ini akan dapat dicapai dengan adanya dukungan modal, sistem kelembagaan dengan pola kerjasama kemitraan, dan input teknologi. Dengan demikian, usaha peternakan dapat dikelola secara lebih profesional dengan tetap berbasis pada keterlibatan masyarakat sehingga akan menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai industri peternakan modern yang menghasilkan produk berkualitas.
Peternak yang saat ini mengembangkan usaha peternakan rakyat dirangsang untuk meningkatkan skala usahanya, dengan campur tangan pemerintah atau swasta dalam hal penyediaan perangkat pendukungnya. Dalam hal ini kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, perbankan dan asosiasi menjadi sangat penting untuk mencapai keberhasilannya. Namun satu hal terpenting adalah kualitas peternak itu sendiri. Perlu seleksi yang sangat ketat terhadap peternak yang akan ditingkatkan skala usahanya. Untuk ini perlu disiapkan sistem seleksi terhadap peternak, yang dapat saja melibatkan perguruan tinggi atau asosiasi untuk merancangnya.
Karena peternak menjadi subjek utama terhadap keberhasilan pengembangan industri peternakan sapi potong, peningkatan kualitas peternak mutlak harus dilakukan. Peningkatan keahlian dan keterampilan peternak harus diprogramkan secara sistematis dan terarah yang mencakup semua aspek manajemen on farm sejak fase pra produksi, produksi maupun masa panen, serta aspek pengelolaan produk pasca panen dan pemasaran. Sistem agroindustri dalam usaha ternak potong harus dikuasai secara baik oleh peternak sebagai pelaku utama.

Peningkatan Interaksi Antara Peternak dan Lembaga Penelitian

Hampir semua menyadari bahwa selama ini industri peternakan dan lembaga penelitian (termasuk perguruan tinggi) tidak berjalan secara beriringan. Praktisi peternakan (peternak) dan peneliti bidang peternakan berjalan menurut relnya masing-masing. Peneliti melakukan suatu penelitian menurut kepakarannya yang bersifat ilmiah tetapi tidakmenyentuh apa yang dibutuhkan peternak, sedangkan peternak sendiri enggan untuk berkomuni-kasi dengan peneliti karena perbedaan latar belakang pendidikan. Ditambah dengan masalah kultur masyarakat Indonesia yang cenderung mengelom-pok pada masing-masing komunitasnya, semakin dalam jurang pemisah antara peternak dan peneliti
Fenomena tersebut, yang terasa semakin menghilang sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi, harus dieliminir secara menyeluruh. Perpaduan antara potensi peneliti dengan latar belakang pendidikan formal tinggi (berwawasan keilmuan luas) dengan potensi peternak yang berlatar belakang pengalaman praktis pada lingkungan khas Indonesia akan menghasilkan teknologi tepat guna yang benar benar aplikatif bagi upaya pengembangan industri peternakan sapi potong di Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kekhususan pada Jawa Barat sangatlah beralasan karena di propinsi ini terdapat tiga perguruan tinggi negeri ternama masing-masing Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran; dan puluhan lembaga penelitian yang bergerak di bidang pertanian dalam arti luas (termasuk peternakan). Balai Inseminasi Buatan Lembang, Balai Embrio Transfer Cipelang, Balai Penelitian ternak Ciawi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan masih banyak lagi.
Semakin gencarnya promosi pemerintah tentang pentingnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) juga mendorong peneliti untuk lebih memfokus-kan penelitiannya pada hal-hal praktis yang benar-benar dibutuhkan masyarakat pengguna. Penelitian yang dikerjakan dan dihasilkannya bersifat aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini tentu saja membuka interaksi yang lebih intensif antara peneliti di lembaga penelitian/ perguruan tinggi) dengan peternak. Keduanya (peneliti dan peternak) harus saling proaktif untuk meciptakan temuan yang sesuai kebutuhan di lapangan. Dengan demikian, tidak akan ada lagi hasil penelitian yang berakhir di rak buku atau perpustakaan, tetapi akan dihasilkan teknologi yang aplikatif bagi masyarakat pengguna.

Pewilayahan Perbibitan

Penampilan suatu ternak merupakan representasi dari potensi genetiknya apabila seluruh faktor non-genetiknya dibuat seragam. Dengan demikian perbedaan penampilan antar ternak di dalam populasi juga merupakan representasi perbedaan genetik. Oleh karena itu, untuk keberhasilan pengembangan ternak bibit, penentuan wilayah yang dapat memenuhi syarat bagi pertumbuhan optimal ternak sapi potong dalam suatu lingkungan yang relatif seragam menjadi sangat penting.
Dalam konteks pengembangan ternak bibit di Jawa Barat, informasi tentang potensi wilayah yang memenuhi kriteria kestabilan faktor-faktor non-genetiknya (atau dapat dikatakn sebagai faktor lingkungan) meliputi daya dukung lahan, kecukupan ketersediaan pakan secara berkelanjutan, sumber daya peternak, dan kultur masyarakatnya.
a. Daya dukung lahan pengembangan ternak bibit lebih dititik-bertakan pada kondisi alam dan lokasi peternakan. Topografi lahan yang menyangkut posisinya dari permukaan laut terkait dengan suhu, kelembaban udara dan jenis tanaman alam yang tumbuh secara alami. Selain itu jenis permukaan tanah (berbukit, bergunung, dataran rendah, dataran tinggi) perlu mendapat perhatian. Berkaitan dengan lokasi pemeliharaan, yang terpenting adalah bahwa lokasi yang akan digunakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat setempat; terjaminnya sistem pengelolaan limbah sehingga tak mencemari lingkungan; dan tidak bertentangan dengan tata ruang daerah. tidak difokuskan kepada jenis tanah yang layak untuk pemeliharaan ternak atau dapat merupakan suatu luasan lahan yang tersedia penyakit ternak yang mungkin endemik di daerah Jawa Barat dan karakteristik geografi wilayahnya harus tersedia sehingga investor merasa yakin dan optimis akan keberhasilannya dalam menanam investasinya di industri perbibitan sapi potong.
b. Ketersediaan pakan harus ditinjau dari aspek kuantitas dan kualitas. Pakan merupakan salah satu faktor kunci untuk keberhasilan pengembangan ternak sapi bibit. Beberapa hal yang terkait dengan kecukupan pakan adalah: jenis pakan hijauan yang dapat ditanam di wilayah pengembangan; jumlah pakan yang dibutuhkan per ekor sapi harus tersedia sepanjang tahun. Teknologi penyimpanan pakan perlu dikembangkan untuk mengantisipasi kemarau panjang yang sering terjadi; pakan konsentrat yang bahan utamanya biasanya by-product pertanian menuntut agar wilayah pengembangan seharusnya berdekatan dengan wilayah pertanian.
c. Sumberdaya peternak, tidak dapat dihindari, merupakan subjek utama atas keberhasilan pengembangan usaha ternak bibit. Dalam melakukan pembinaan terhadap peternak atau rekrutmen peternak baru yang dipersiapkan menjadi pelaku-pelaku industri peternakan, tingkat keterampilan, motivasi tinggi untuk mengembangkan/meningkatkan produktivitas ternak serta pengetahuan tentang budidaya peternakan seharusnya menjadi acuan dalam membuat kriteria penentuan peternak yang perlu dibina atau peternak baru yang akan disiapkan menjadi pelaku industri peternakan.
d. Kultur masyarakat merupakan faktor penting yang harus dipertimbang-kan dalam menentukan wilayah pengembangan ternak sapi bibit. Walaupun dalam hal ini ada kecenderungan tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat Jawa Barat sebagaimana biasanya terjadi pada babi, kajian dan evaluasi terhadap kultur masyarakat tetap perlu dilakukan untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan.
e. Berkaitan dengan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit ternak sapi potong, penentuan wilayah yang bebas penyakit (khususnya yang menular) harus diprioritaskan untuk keberhasilan usaha perbibitan sapi.
Dukungan Lembaga Keuangan/Perbankan
Dalam pengembangan industri peternakan sapi potong, modal merupakan satu sumberdaya penting. Apalagi untuk investasi dalam usaha perbibitan sapi potong serta pembukaan kawasan baru untuk agroindustri sapi potong. Kebijakan khusus dalam permodalan harus diberlakukan untuk merangsang investor mau berinvestasi di usaha perbibitan yang tampaknya kurang menarik dibanding usaha penggemukan karena biaya proses produksi yang lebih mahal. Tidak seperti usaha penggemukan yang hanya
memerlukan proses produksi tidak lebih dari tiga bulan, usaha perbibitan memerlukan waktu produksi yang lebih lama dengan pengelolaan yang lebih kompleks. Dalam upaya membuka kawasan baru usaha sapi potong, pola kerjasama inti-plasma yang selama ini juga berjalan untuk usaha ternak unggas merupakan model pengembangan yang sesuai bila dikaitkan juga dengan masalah permodalan. Petani peternak sebagai plasma dilibatkan dalam kepemilikan saham dalam perusahaan inti. Besarnya saham yang dimiliki didasarkan pada kontribusi awalnya dalam membuka kawasan baru usaha tersebut. Pola pengembangan yang melibatkan petani peternak terampil dan bermotivasi tinggi akan, bila berhasil, akan memacu pembentukan atau pembangunan idustri pendukung lain seperti industri pakan ternak, rumah potong hewan, fasilitas pemasaran, infrastruktur serta berbagai fasilitas lain yang memudahkan interaksi antara produsen dan konsumen produk usaha sapi potong.
Integrasi antar Subsistem Agribisnis Sapi Potong
Sebagaimana telah disinggung di depan, untuk kondisi wilayah dan kultur masyarakat Indonesia, industri peternakan sapi potong (khususnya perbibitan) perlu melibatkan dan mengaitkan kerjasama dengan petani peternakan rakyat dimana keberadaan dan peran peternak rakyat merupa-kan satu subsistem dalam suatu sistem agribisnis sapi potong. Dalam hal ini peran peternak hanya ditekankan pada pengelolaan secara teknis dalam budidaya, dengan pembinaan dan pengawasan dari perusahaan inti. Di lain pihak, perusahaan inti yang juga merupakan salah satu sub-sistem lain dalam satu mata rantai agroindustri, lebih menitik beratkan pada pengen-dalian mutu, yang mana hal ini membutuhkan manajemen perusahaan yang kuat dan profesional, penerapan teknologi yang tepat sehingga diperoleh efisiensi usaha yang tinggi. Untuk membantu kegiatan perusahaan inti, susb-sistem lain juga harus dibangun yang bergerak sebagai pemasok berbagai kebutuhan dalam proses produksi mulai dari pasokan pakan, pasokan bakalan, pasokan teknologi, jasa transportasi dan lain lain. Dalam membangun sub-sistem ini (pasokan berbagai faktor produksi), petani peternak dapat dilibatkan sebagaimana yang terjadi di dalam pola PIR selama ini.
Tanpa harus meninggalkan keterlibatan petani peternak, upaya membangun industri peternakan sapi potong yang sarat modal dan sarat teknologi juga perlu dipikirkan. Apabila teknologi feedlot telah lebih dahulu dikuasai atas kerjasama dengan pihak luar negeri seperti Australia, perlu dipikirkan juga masukan teknologi perbibitan dengan pola kerjasama dengan pihak luar negeri juga. Hal ini dalam rangka mempercepat terwujudnya industri peternakan sapi potong yang tangguh.
Yang perlu dipertimbangkan juga dalam agribisnis peternakan sapi potong adalah masalah pemasaran. Ini harus dikaitkan dengan proses pengolahan dan pengendalian mutu daging sapi. Sedikitnya ada tiga hal pokok yang perlu menjadi perhatian, yaitu: (a) pola konsumsi pasar daging sapi di dalam negeri; (b) kebutuhan noma standard daging sapi untuk memenuhi pasaran daging berkualitas di dalam dan di luar negeri; (c) kebutuhan infrastruktur pelengkap untuk memenuhi norma-norma standard daging berkualitas.